Uang adalah suatu benda yang digunakan sebagai alat tukar. Ia berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang. Fungsinya telah menggantikan praktek jual-beli barter, yaitu pertukaran antara satu jenis barang dengan jenis barang yang lain. Di dalam perdagangan barter sebenarnya terdapat “kerelaan” dari seseorang ketika barangnya ditukar dengan barang jenis lain dari seseorang yang lain yang juga dengan kerelaan. Yang biasanya dilakukan secara tatap muka (face to face). Perekonomian barter berlaku ketika masyarakat belum mengenal suatu benda perantara yang mempunyai “nilai tukar” yang bisa digunakan untuk mendapatkan barang apa saja, yaitu uang.
Tetapi sebenarnya uang adalah benda publik yang baru berfungsi ketika beredar di masyarakat sebagai alat transaksi. Karena itu ketika ditarik dari peredarannya, akan hilang fungsi di dalamnya. Ia akan menjadi benda “statis” (mati) yang tidak memberi manfaat apa-apa, karena ia bukan komoditas yang bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh manusia. Contohnya, beras adalah suatu komoditas salah-satu makanan yang tanpanya manusia bisa kelaparan dan mengganggu kelangsungan hidupnya. Meskipun punya uang, tetapi kalau tidak ada ketersediaan beras di masyarakat seseorang masih tetap lapar karena uang tidak bisa dimakan.
Tetapi karena di dalam masyarakat modern uang sudah menjadi satu bagian dari peradaban, maka semua orang menjadi sangat tergantung pada uang. Uang telah menjadi bagian yang sentral dalam perekonomian, antara barang dan uang itu sendiri tidak bisa ditiadakan keduanya. Karena itu, kemudian lahir istilah-istilah yang berkenaan dengan ketersediaan antara barang dan uang, yaitu inflasi dan deflasi. Inflasi adalah terjadi jika jumlah uang yang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia. Sedangkan deflasi adalah terjadi jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia.
Kembali kepada fungsi uang. Agama melarang menimbun uang, karena hal itu akan berpengaruh terhadap perekonomian secara langsung. Usaha-usaha menjadi sulit berkembang, jika uang hanya beredar di kalangan orang-orang kaya yang sedikit jumlahnya. Sebaliknya, sirkulasi uang seharusnya beredar dengan baik, supaya uang bergerak dengan cepat yang selanjutnya akan menciptakan ekonomi yang sehat. Pengaturan tentang uang dalam hal ini, menjadi masalah yang serius.
Dulu, dalam situsi ekonomi yang kurang normal akibat krisis moneter, orang cenderung menimbun uangnya dalam bentuk-bentuk deposito dengan bunga yang melebihi batas normal, dan beberapa produk investasi lain dengan tujuan menggelembungkan jumlah uangnya dari bunga itu. Tetapi di dalam situasi ekonomi yang sudah normal, perlu diatur supaya uang menjadi produktif dan membawa manfaat yang lebih baik bagi masyarakat luas. Salah-satu yang bisa meningkatkan fungsi uang adalah dengan sistem perbankan syariah. Dengan sistem perbankan syariah uang bisa didayagunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Ia bisa menghilangkan unsur mendzalimi – yang melekat dalam riba – di dalam praktik pinjam-meminjam uang di mana hal itu merupakan suatu kegiatan yang memegang peranan penting dalam menjalankan suatu usaha. Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) kinerja bank syariah menunjukkan kinerja yang baik. Pada akhir Tahun 2006 total aset perbankan syariah mencapai Rp 26,7 triliun, pada akhir Tahun 2007 mencapai Rp 36,5 triliun atau meningkat 36,7 persen.
Bahkan semakin banyak bermunculan perbankan syariah, bukan hanya di negara-negara muslim tetapi juga di negara-negara non-muslim. Salah-satu alasan yang penting adalah bahwa bank syariah telah terbukti lebih tahan terhadap krisis.
Kalau kita mengacu kepada Al-Qur’an, maka riba adalah tidak diperbolehkan dalam Islam, seperti yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah (2): 275, 278-279, Ar-Ruum (30): 29, An-Nisaa’ (4): 160-161, dan Ali Imran (3): 130.
Sekalipun demikian, di dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa di dalam kehidupan masyarakat adalah suatu yang biasa adanya praktik pinjam-meminjam uang. Jika tanpa melibatkan institusi keuangan semacam bank, orang-orang yang meminjami uang (berpiutang) dianjurkan untuk menerima pembayaran uang sejumlah yang dipinjamkan, tetapi “jika engkau melupakannya maka hal itu adalah lebih baik bagimu – seandainya engkau mengetahui.” Karena sesungguhnya jika dilakukan secara ikhlas karena Allah, maka Allah yang akan membayarnya dengan “berlipatganda” (seperti yang diterangkan dalam QS. Ar-Ruum (30): 39, Al-Baqarah (2): 245, Al-Maaidah (5): 12 dan 18, Al-Hadiid (57): 11 dan 18, At-Taghaabuun (64): 17, Al-Muzzammil (73): 20).
Sebagian orang mengatakan uang merupakan sumber segala kejahatan; dengan memiliki uang yang banyak maka orang akan mudah menyeleweng dari jalan lurus dan benar, sebaliknya sebagian orang yang lain mengatakan uang merupakan sumber dari segala kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan. Yang pertama menasehatkan, jangan mencintai uang atau hindari menumpuk uang, yang kedua menginginkan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.
Tetapi Allah telah melebihkan sebagian manusia dengan memberinya rizki yang lebih banyak seperti yang disebutkan di dalam QS. An-Nahl (16): 71. Sebagian orang dijadikan Allah sebagai orang yang sangat kaya. Sesungguhnya di dalam kekayaan mereka itu terdapat hak-hak orang miskin. Ada kecenderungan sebagian orang yang sudah diberi rizki Allah dengan ukuran yang banyak akan bertambah lagi. Bagaimana memperlakukan kekayaannya yang sangat banyak itu, terkadang menjadi persoalan. Daripada uang yang banyak itu diam, maka solusinya adalah dibuat untuk membuat usaha-usaha (baru). Dengan usahanya itu mereka bisa menjadikan uangnya lebih maslahat, karena bisa menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang. Berarti uangnya menjadi berdayaguna, dan rizki yang didapatkannya dari usahanya dapat dirasakan oleh banyak orang. Bahwa uangnya tidak dinikmati sendiri, yang jika hidup seseorang sudah terlalu mewah maka akan cenderung kepada gaya hidup foya-foya, bermewah-mewah yang bisa melupakan Allah. Al-Qur’an menentang hidup yang bermewah-mewah.
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl (16): 71).
Jadi dengan membuat usaha yang membawa manfaat bagi orang lain, merupakan solusi yang tepat bagi orang-orang yang dilebihkan rizkinya oleh Allah. Rizki mereka bisa bertambah banyak lagi, dan yang penting ada kesadaran untuk berbagi-bagi rizki itu dengan orang lain melalui lapangan kerja yang diciptakan. Dan yang terjadi jangan sampai sebaliknya yaitu dengan semakin banyaknya hartanya, mereka semakin serakah. Keserakahan akan membawa kepada kehancuran.
Kiranya hanya iman yang tertanam kuat di dalam jiwa yang dapat menerangi jalan hidupnya. Sesungguhnya, segala harta itu hanya titipan Allah. Itulah kenapa, Allah sangat menyukai orang-orang yang dermawan, sebaliknya sangat membenci orang-orang yang kikir. Karena dalam kedermawanan itu rizki yang diturunkan Allah akan mudah tersalurkan kepada hamba-hamba-Nya, sebaliknya pada orang-orang yang kikir rizki yang diturunkan Allah akan sulit tersalurkan kepada hamba-hamba-Nya.
Di dalam Islam uang adalah sekedar alat untuk menggapai hidup yang diridhai Allah, karena tujuan hidup adalah Allah. Dalam pada itu, uang juga merupakan alat untuk hidup yang sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat. Berbagai macam problem yang dirasakan manusia muncul entah perasaan tidak pernah tenang, perasaan rendah diri, perasaan tidak bahagia meskipun mempunyai uang yang berlebih, perasaan takut kekurangan uang, kebanyakan karena seseorang kurang menyadari uang hanyalah sekedar alat. Nilai hidup seseorang di dunia tidak hanya ditentukan oleh hal-hal material belaka tetapi juga immaterial yang ada di dalam jiwa seseorang itu, seseorang yang benar dan lurus jalan hidupnya yang tujuan hidupnya tidak lain hanyalah Allah semata.
Tujuan dari suatu bisnis adalah menjual suatu produk barang atau jasa untuk mendapatkan keuntungan, dan yang dimaksud keuntungan itu di dalamnya adalah uang itu sendiri. Artinya tidak ada yang ingin dicari oleh suatu bisnis pertama-tama kecuali uang (hasil dari keuntungan). Itulah kenapa budaya bisnis sangatlah penting karena aktifitas bisnis itu akan memberi nilai lebih melalui keuntungan yang didapat di dalam perdagangan.
Sebagai pengusaha yang dilandasi nilai Islam, maka adalah sesuatu yang benar jika mengejar uang sebanyak-banyaknya. Persoalannya adalah bagaimana memperlakukan dan menempatkannya dalam kedudukannya yang benar. Uang merupakan “darah” dalam suatu usaha, seperti darah di dalam tubuh manusia, sehingga begitu pentingnya uang di dalam memutar dan mengoperasikan usahanya. Dalam hal ini, mendapatkan uang tidak hanya untuk memiliki uang semata tetapi dalam rangka mengoperasikan dan memperluas jangkauan bisnisnya. Dengan uang tersebut mereka dapat membebaskan dirinya dan keluarganya dari kemiskinan dalam hidup, meningkatkan taraf hidup keluarganya, dan selanjutnya dapat membayar karyawan/ pekerjanya. Dia memperlakukannya sebagai alat untuk mendapatkan kesejahteraan, kenikmatan dan kebahagiaan dalam hidup di dunia.
Mereka berpikir dan paham bahwa dengan uang segala sesuatu menyangkut bisnisnya akan berjalan dengan lancar, uang merupakan hal pertama yang diusahakan. Di dalam mengusahakan uang tersebut mereka paham cara-cara yang benar, dengan dilandasi moralitas Islami.