Thursday, December 16, 2010

Manusia itu Tempat Keluh-Kesah




Dapatlah dibuat perumpamaan. Ketika manusia tidak mempunyai rumah dan hidup dengan menyewa rumah manusia mengangankan bagaimana rasanya mempunyai rumah. Ketika manusia tidak mempunyai pesawat televisi, melihat pesawat televisi tetangga timbul rasa tidak puas dalam hati. Ketika manusia tidak mempunyai mobil melihat kawannya punya mobil ada perasaan iri, dan menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak mampu membeli mobil. Selanjutnya manusia yang sudah mempunyai rumah merasa kurang puas mengapa rumahnya terasa sempit, dan mengangankan mempunyai rumah yang lebih luas seperti yang pernah mereka lihat. Manusia yang sudah mempunyai televisi ketika dibandingkan dengan televisi tetangganya terasa masih kurang besar dan kurang bagus merknya. Manusia yang sudah mempunyai mobil ketika dikendarai di jalan, terasa mobilnya masih kurang mewah dari beberapa mobil yang mereka lihat.

Yang disebutkan di atas adalah beberapa contoh tentang hasrat manusia. Salah-satu ciri manusia adalah mempunyai keinginan yang tidak ada batasnya. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan keinginan manusia ini. Cerita tentang manusia boleh dibilang adalah cerita tentang hal-hal yang bersifat keduniawian yang tiada batas padahal hal itu merupakan pangkal dari segala keluh-kesah manusia. Dalam QS. Al-Ma’aarij: 19 diterangkan tentang sifat manusia ini.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.” (QS. Al-Ma’aarij: 19).

“Sesungguhnya manusia mempunyai sifat goyah. Jika mendapatkan kemalangan ia pun berkeluh-kesah tetapi jika mendapatkan kebaikan ia berusaha agar kebaikan itu tidak sampai kepada orang lain.” (70:19-21).

“Jika manusia penuh dengan sifat kikir (mementingkan diri sendiri).” (4:128).

Selama nafas masih ada dalam dirinya, selama itu pula manusia akan merasakan “beban“ yang disandangnya, yang menimbulkan keluh-kesah. Bagaimana mungkin manusia dapat terbebas sepenuhnya dari beban hidup di dunia sementara ia masih selalu membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya yang semuanya itu harus dicari di dunia fana ini. Dan ketika apa-apa yang diperjuangkan telah didapatkannya maka manusia akan bersikap kikir atau kebaikan itu tidak sampai kepada orang lain. Tetapi juga, manusia akan melupakan semua yang didapat itu adalah pemberian Allah. Di sini manusia bisa terjebak ke dalam sikap yang sombong (merasa apa yang didapatnya atas usahanya sendiri). Tetapi sebaliknya manusia bisa berputus asa ketika yang diusahakannya gagal. Al-Qur’an telah menyingggung hal ini:

“Jika Kami memberikan rahmat Kami kepada Manusia, kemudian menariknya kembali – saksikanlah betapa ia berputus asa dan mengingkari (bahwa Allah telah melimpahkan rahmatnya). Tetapi jika setelah menderita kesusahan itu ia memperoleh rahmat dari Kami niscaya ia akan mengatakan bahwa semua kesulitan nya sudah tiada lagi (dan ia telah menjadi bersih). Sesungguhnya manusia terlampau gampang menjadi sombong – tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang yang sabar serta shaleh. (11:9-11).

“Manusia tidak pernah jemu mengharapkan kesejahteraan. Tetapi jika dilanda kesusahan ia akan berputus asa. Jika setelah menderita kesusahan itu Kami limpahkan rahmat Kami kepadanya niscaya ia akan berkata: ‘Memang inilah hakku....
“Dan jika Kami melimpahkan rahmat Kami kepada manusia niscaya ia akan lupa dan berpaling, tetapi jika kesusahan menimpa dirinya niscaya ia akan memohonkan pertolongan.” (41:49-51; 17: 83; 10:12).

Dan orang yang akan menang adalah orang yang selamat dari sifat mereka yang mementingkan diri sendiri.

Yang akan memperoleh kemenangan adalah orang-orang yang selamat dari sifat mereka yang mementingkan diri sediri.” (59:9; 64:16).

“Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat terburu nafsu.” (21:37).

Dari ayat di atas dapat dikenali dua sifat manusia yang saling berlawanan, yaitu bahwa ia bisa berlaku sombong pada satu sisi dan berputus asa pada sisi yang lain.
Karena sifat terburu nafsu inilah manusia menjadi sombong atau putus asa. Menurut Fazlur Rahman, tidak ada makhluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gampangnya seperti manusia. Al-Qur’an berulangkali menandaskan bahwa setelah memperoleh rahmat, manusia segera “melupakan” Allah; jika sebab-sebab alamlah membuat manusia merasa puas dan berkecukupan (untuk dapat berdiri sendiri) maka ia tidak “melihat” peranan Allah di dalam sebab-sebab tersebut; tetapi jika mendapat kesusahan ia menjadi putus asa atau berpaling kepada Allah – namun hanya di saat-saat kesusahan itu. Ia hanya mengingat Allah di saat-saat kesusahan; atau mungkin pula di saat-saat itu ia tidak “mengingat” dan memohonkan pertolongan Allah, tetapi terbenam di dalam keputusasaannya. Al-Qur’an menyinggung hal ini (11: 9-11).

Dan Fazlur Rahman mengatakan bahwa baik manusia itu sombong atau berputus asa, merasa besar atau kecil, akibatnya adalah penyimpangan dan akhirnya adalah kehancuran kepribadian yang bermoral.

Oleh karena itu Al-Qur’an juga melarang keras keputusasaan yang dinyatakannya sebagai sebuah tanda dari “orang-orang kafir” atau orang-orang yang menyangkal kebenaran.

“Janganlah berputus asa dengan rahmat Allah karena tidak ada orang yang berbuat demikian kecuali orang-orang yang kafir.” (12:87; 29: 33; 15:56, 39:53). Baik kesombongan maupun keputusasaan adalah perbuatan kufur (tidak beriman).






Title: Manusia itu Tempat Keluh-Kesah; Written by AMH; Rating Blog: 5 From 5

No comments:

Post a Comment