Tuesday, March 28, 2017

Cara Mengamalkan Do'a Mustajab Memperluas Rizki, Diberikan Kesehatan, Diampuni Dosa-dosa Kecil, dan Dibimbing pada Kebaikan




Berikut ini adalah Do'a Mustajab Memperluas Rizki, Diberikan Kesehatan, Diampuni Dosa-dosa Kecil, dan Dibimbing pada Kebaikan:



Allahumma yaa ghaniyyu yaa hamiid, yaa mubdi-u yaa mu'iid, yaa rahiimu yaa waduud, aghninii bihalaalika 'an haraamika wa bithaa'atika 'an ma'shiyatika wa bifadhlika amman siwaak


Artinya: Ya allah, wahai Tuhan Yang Maha Kaya, Yang Maha Terpuji, Yang Maha Memulai, Yang Maha Mengembalikan, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Kasih, cukupkan aku dengan pemberian-Mu yang halal, bukan yang haram, dan taat kepada-Mu, bukan bermaksiat kepada-Mu, dan puaskanlah aku dengan pemberian-Mu, bukan selain-Mu.

Adapun cara mengamalkannya: Dibaca sesudah selesai Shalat Jum'at dengan sebelum mengubah posisi kaki tasyahut akhir (artinya jari-jari kaki kanan masih tetap memanjat ke tanah) dan sebelum berbicara yang lain, dengan mengikuti tata-cara sebagai berikut:
1). Membaca Al-Fatihah sebanyak 7X
2). Membaca Al-Ikhlaash sebanyak 7X
3). Membaca Al-Falaq sebanyak 7X
4). Membaca An-Naas sebanyak 7X
5). Membaca Al-Fatihah sebanyak 1X dan terakhir
6). Membaca Do'a di atas sebanyak 3X.

Maka barang siapa membaca secara istiqomah amalan di atas, akan diperluas rizkinya oleh Allah dari arah yang tidak diperhitungkan sebelumnya, diberi kesehatan, diampuni dosa-dosa kecilnya selama satu minggu yang lalu, dan dibimbing oleh Allah kepada kebaikan pada satu minggu yang akan datang.










Baca selengkapnya ...
Tuesday, January 5, 2016

Download


Sains dan Islam:
1. Manusia dan Alam Semesta
    Oleh: Harun Yahya

2. Keruntuhan Teori Evolusi
    Oleh: Harun Yahya

3. Bencana Kemanusiaan Akibat Darwinisme
    Oleh: Harun Yahya

4. Metode Baru Menghafal Al-Qur'an
    Oleh: Abdud Daa-im al-Kahiil (www.kaheel7.com)

5. Matematika Alam Semesta
    Oleh: Arifin Mufti

6. Falsafatuna
    Oleh: Muhammad Baqir As-Sadr









Baca selengkapnya ...
Sunday, January 3, 2016

Pelaksanaan Shalat Hajat Khusus Empat Rakaat untuk Mengatasi Masalah-masalah yang Berat



Anda adalah orang yang sedang mempunyai masalah-masalah yang sangat berat dalam hidup? Hidup Anda penuh dengan keruwetan? Anda sedang terlilit hutang yang sulit terbayarkan? Atau Anda sedang dihimpit masalah-masalah lain yang sulit untuk dikatakan atau tak mungkin diungkapkan? Jangan sampai Anda putus asa, tetaplah tabah dan terus berikhtiar. Dan mulai saat ini, cobalah untuk melakukan shalat hajat khusus empat untuk mengatasi masalah-masalah Anda yang sangat berat tersebut. Adapun pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1). Pada rakaat pertama, setelah membaca Al-Fatihah kemudian membaca Al-Ikhlaash sebanyak 11 kali.
2). Pada rakaat kedua, setelah membaca Al-Fatihah kemudian membaca Al-Ikhlaash sebanyak 21 kali.
3). Pada rakaat ketiga, setelah membaca Al-Fatihah kemudian membaca Al-Ikhlaash sebanyak 30 kali.
4). Pada rakaat keempat, setelah membaca Al-Fatihah kemudian membaca Al-Ikhlaash sebanyak 41 kali.
Total Al-Ikhlaash yang dibaca di dalam empat rakaat di atas adalah 103 kali.

Kemudian setelah selesai mengerjakan shalat hajat di atas membaca wirid:
1).Al-Ikhlaash sebanyak 50 kali
2).Shalawat sebanyak 50 kali
3).Subhanallahi walhamdulillahi walaa ilaaha illallahu wallahu akbar, walaa haula walaa quwwata illaa billahil 'aliyyil 'adhiimi, atau dalam tulisan arab di bawah ini sebanyak 50 kali


Setelah selesai mengerjakan shalat hajat empat rakaat dan semua wirid di atas, kemudian berdo'a memohon kepada Allah. Misalnya dalam kalimat: "Ya Allah, kami bisanya bekerja seperti ini... yang bisa menyelesaikan semua masalah-masalah kami hanya Engkau, ya Allah... dan bagaimana caranya terserah Engkau, ya Allah..." Kalimat tersebut misalnya jika sedang terlilit hutang yang berat. Jika Anda sedang mengalami masalah-masalah berat yang lain, permohonan kepada Allah bisa Anda sesuaikan dengan masalah yang sedang dihadapi, tetapi dengan mengandung inti permohonan yaitu: "Kami bisanya  melakukan upaya atau bekerja seperti ini... dan bagaimana caranya terserah kepada Engkau, ya Allah (untuk menyelesaikannya)." Dalam hal ini kita tak tahu caranya, dan pasrah kepada Allah, yang tahu caranya adalah Allah untuk menyelesaikan masalah-masalah berat yang kita hadapi.









Baca selengkapnya ...
Thursday, December 16, 2010

Menempatkan Uang pada Kedudukan yang Benar



Uang adalah suatu benda yang digunakan sebagai alat tukar. Ia berfungsi sebagai sarana untuk mendapatkan barang. Fungsinya telah menggantikan praktek jual-beli barter, yaitu pertukaran antara satu jenis barang dengan jenis barang yang lain. Di dalam perdagangan barter sebenarnya terdapat “kerelaan” dari seseorang ketika barangnya ditukar dengan barang jenis lain dari seseorang yang lain yang juga dengan kerelaan. Yang biasanya dilakukan secara tatap muka (face to face). Perekonomian barter berlaku ketika masyarakat belum mengenal suatu benda perantara yang mempunyai “nilai tukar” yang bisa digunakan untuk mendapatkan barang apa saja, yaitu uang.

Tetapi sebenarnya uang adalah benda publik yang baru berfungsi ketika beredar di masyarakat sebagai alat transaksi. Karena itu ketika ditarik dari peredarannya, akan hilang fungsi di dalamnya. Ia akan menjadi benda “statis” (mati) yang tidak memberi manfaat apa-apa, karena ia bukan komoditas yang bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh manusia. Contohnya, beras adalah suatu komoditas salah-satu makanan yang tanpanya manusia bisa kelaparan dan mengganggu kelangsungan hidupnya. Meskipun punya uang, tetapi kalau tidak ada ketersediaan beras di masyarakat seseorang masih tetap lapar karena uang tidak bisa dimakan.

Tetapi karena di dalam masyarakat modern uang sudah menjadi satu bagian dari peradaban, maka semua orang menjadi sangat tergantung pada uang. Uang telah menjadi bagian yang sentral dalam perekonomian, antara barang dan uang itu sendiri tidak bisa ditiadakan keduanya. Karena itu, kemudian lahir istilah-istilah yang berkenaan dengan ketersediaan antara barang dan uang, yaitu inflasi dan deflasi. Inflasi adalah terjadi jika jumlah uang yang beredar melebihi jumlah barang yang tersedia. Sedangkan deflasi adalah terjadi jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit dari barang yang tersedia.







Kembali kepada fungsi uang. Agama melarang menimbun uang, karena hal itu akan berpengaruh terhadap perekonomian secara langsung. Usaha-usaha menjadi sulit berkembang, jika uang hanya beredar di kalangan orang-orang kaya yang sedikit jumlahnya. Sebaliknya, sirkulasi uang seharusnya beredar dengan baik, supaya uang bergerak dengan cepat yang selanjutnya akan menciptakan ekonomi yang sehat. Pengaturan tentang uang dalam hal ini, menjadi masalah yang serius.

Dulu, dalam situsi ekonomi yang kurang normal akibat krisis moneter, orang cenderung menimbun uangnya dalam bentuk-bentuk deposito dengan bunga yang melebihi batas normal, dan beberapa produk investasi lain dengan tujuan menggelembungkan jumlah uangnya dari bunga itu. Tetapi di dalam situasi ekonomi yang sudah normal, perlu diatur supaya uang menjadi produktif dan membawa manfaat yang lebih baik bagi masyarakat luas. Salah-satu yang bisa meningkatkan fungsi uang adalah dengan sistem perbankan syariah. Dengan sistem perbankan syariah uang bisa didayagunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Ia bisa menghilangkan unsur mendzalimi – yang melekat dalam riba – di dalam praktik pinjam-meminjam uang di mana hal itu merupakan suatu kegiatan yang memegang peranan penting dalam menjalankan suatu usaha. Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI) kinerja bank syariah menunjukkan kinerja yang baik. Pada akhir Tahun 2006 total aset perbankan syariah mencapai Rp 26,7 triliun, pada akhir Tahun 2007 mencapai Rp 36,5 triliun atau meningkat 36,7 persen.

Bahkan semakin banyak bermunculan perbankan syariah, bukan hanya di negara-negara muslim tetapi juga di negara-negara non-muslim. Salah-satu alasan yang penting adalah bahwa bank syariah telah terbukti lebih tahan terhadap krisis.

Kalau kita mengacu kepada Al-Qur’an, maka riba adalah tidak diperbolehkan dalam Islam, seperti yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah (2): 275, 278-279, Ar-Ruum (30): 29, An-Nisaa’ (4): 160-161, dan Ali Imran (3): 130.

Sekalipun demikian, di dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa di dalam kehidupan masyarakat adalah suatu yang biasa adanya praktik pinjam-meminjam uang. Jika tanpa melibatkan institusi keuangan semacam bank, orang-orang yang meminjami uang (berpiutang) dianjurkan untuk menerima pembayaran uang sejumlah yang dipinjamkan, tetapi “jika engkau melupakannya maka hal itu adalah lebih baik bagimu – seandainya engkau mengetahui.” Karena sesungguhnya jika dilakukan secara ikhlas karena Allah, maka Allah yang akan membayarnya dengan “berlipatganda” (seperti yang diterangkan dalam QS. Ar-Ruum (30): 39, Al-Baqarah (2): 245, Al-Maaidah (5): 12 dan 18, Al-Hadiid (57): 11 dan 18, At-Taghaabuun (64): 17, Al-Muzzammil (73): 20).

Sebagian orang mengatakan uang merupakan sumber segala kejahatan; dengan memiliki uang yang banyak maka orang akan mudah menyeleweng dari jalan lurus dan benar, sebaliknya sebagian orang yang lain mengatakan uang merupakan sumber dari segala kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan. Yang pertama menasehatkan, jangan mencintai uang atau hindari menumpuk uang, yang kedua menginginkan untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya.

Tetapi Allah telah melebihkan sebagian manusia dengan memberinya rizki yang lebih banyak seperti yang disebutkan di dalam QS. An-Nahl (16): 71. Sebagian orang dijadikan Allah sebagai orang yang sangat kaya. Sesungguhnya di dalam kekayaan mereka itu terdapat hak-hak orang miskin. Ada kecenderungan sebagian orang yang sudah diberi rizki Allah dengan ukuran yang banyak akan bertambah lagi. Bagaimana memperlakukan kekayaannya yang sangat banyak itu, terkadang menjadi persoalan. Daripada uang yang banyak itu diam, maka solusinya adalah dibuat untuk membuat usaha-usaha (baru). Dengan usahanya itu mereka bisa menjadikan uangnya lebih maslahat, karena bisa menciptakan lapangan kerja bagi banyak orang. Berarti uangnya menjadi berdayaguna, dan rizki yang didapatkannya dari usahanya dapat dirasakan oleh banyak orang. Bahwa uangnya tidak dinikmati sendiri, yang jika hidup seseorang sudah terlalu mewah maka akan cenderung kepada gaya hidup foya-foya, bermewah-mewah yang bisa melupakan Allah. Al-Qur’an menentang hidup yang bermewah-mewah.

“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl (16): 71).

Jadi dengan membuat usaha yang membawa manfaat bagi orang lain, merupakan solusi yang tepat bagi orang-orang yang dilebihkan rizkinya oleh Allah. Rizki mereka bisa bertambah banyak lagi, dan yang penting ada kesadaran untuk berbagi-bagi rizki itu dengan orang lain melalui lapangan kerja yang diciptakan. Dan yang terjadi jangan sampai sebaliknya yaitu dengan semakin banyaknya hartanya, mereka semakin serakah. Keserakahan akan membawa kepada kehancuran.

Kiranya hanya iman yang tertanam kuat di dalam jiwa yang dapat menerangi jalan hidupnya. Sesungguhnya, segala harta itu hanya titipan Allah. Itulah kenapa, Allah sangat menyukai orang-orang yang dermawan, sebaliknya sangat membenci orang-orang yang kikir. Karena dalam kedermawanan itu rizki yang diturunkan Allah akan mudah tersalurkan kepada hamba-hamba-Nya, sebaliknya pada orang-orang yang kikir rizki yang diturunkan Allah akan sulit tersalurkan kepada hamba-hamba-Nya.






Di dalam Islam uang adalah sekedar alat untuk menggapai hidup yang diridhai Allah, karena tujuan hidup adalah Allah. Dalam pada itu, uang juga merupakan alat untuk hidup yang sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat. Berbagai macam problem yang dirasakan manusia muncul entah perasaan tidak pernah tenang, perasaan rendah diri, perasaan tidak bahagia meskipun mempunyai uang yang berlebih, perasaan takut kekurangan uang, kebanyakan karena seseorang kurang menyadari uang hanyalah sekedar alat. Nilai hidup seseorang di dunia tidak hanya ditentukan oleh hal-hal material belaka tetapi juga immaterial yang ada di dalam jiwa seseorang itu, seseorang yang benar dan lurus jalan hidupnya yang tujuan hidupnya tidak lain hanyalah Allah semata.

Tujuan dari suatu bisnis adalah menjual suatu produk barang atau jasa untuk mendapatkan keuntungan, dan yang dimaksud keuntungan itu di dalamnya adalah uang itu sendiri. Artinya tidak ada yang ingin dicari oleh suatu bisnis pertama-tama kecuali uang (hasil dari keuntungan). Itulah kenapa budaya bisnis sangatlah penting karena aktifitas bisnis itu akan memberi nilai lebih melalui keuntungan yang didapat di dalam perdagangan.

Sebagai pengusaha yang dilandasi nilai Islam, maka adalah sesuatu yang benar jika mengejar uang sebanyak-banyaknya. Persoalannya adalah bagaimana memperlakukan dan menempatkannya dalam kedudukannya yang benar. Uang merupakan “darah” dalam suatu usaha, seperti darah di dalam tubuh manusia, sehingga begitu pentingnya uang di dalam memutar dan mengoperasikan usahanya. Dalam hal ini, mendapatkan uang tidak hanya untuk memiliki uang semata tetapi dalam rangka mengoperasikan dan memperluas jangkauan bisnisnya. Dengan uang tersebut mereka dapat membebaskan dirinya dan keluarganya dari kemiskinan dalam hidup, meningkatkan taraf hidup keluarganya, dan selanjutnya dapat membayar karyawan/ pekerjanya. Dia memperlakukannya sebagai alat untuk mendapatkan kesejahteraan, kenikmatan dan kebahagiaan dalam hidup di dunia.

Mereka berpikir dan paham bahwa dengan uang segala sesuatu menyangkut bisnisnya akan berjalan dengan lancar, uang merupakan hal pertama yang diusahakan. Di dalam mengusahakan uang tersebut mereka paham cara-cara yang benar, dengan dilandasi moralitas Islami.






Baca selengkapnya ...

Kekuatan Do’a Mengubah Sesuatu yang Mustahil dalam Pikiran Manusia Bisa Terjadi Atas Kehendak Allah




“(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakariya.” (QS. Maryam: 2)

“Yaitu tatkala ia berdo’a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)

“Ia berkata: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku.” (QS. Maryam: 4)

-----


Maka di antara sebagian tokoh sufi mengidolakan Nabi Zakariya sebagai panutan di dalam kesabarannya berdo’a. Yang berlaku pada Nabi Zakaria tersebut adalah meleburnya hati dan pikiran beliau kepada Allah, penyerahan secara bulat-bulat dirinya kepada Allah, yang berpuncak kepada kesabaran yang tidak terkira dan keyakinan yang tidak tergoyahkan oleh manusia bahwa Allah SWT pasti akan mengabulkannya.

Jika Allah menghendaki maka pasti terjadi. Di tengah himpitan masalah hidup, seseorang mungkin akan sampai kepada keadaan di mana segala pintu telah tertutup. Berbagai macam pintu didatangi, tetapi hasilnya nihil. Adakah pertolongan yang paling mungkin jika tidak lari kepada Allah. Semua diminta kepada Allah.

Seorang yang dulu berjaya di masa mudanya, harta melimpah, tidak tertutup kemungkinan roda hidupnya tiba-tiba berada di bawah. Atau sebagian yang lain diberi ujian oleh Allah dengan aneka macam ujian, menjadikan dirinya tidak berdaya. Tetapi tidak ada kekuatan yang sanggup menerbangkan seseorang dari kondisi terpuruk selain antusiasme (semangat) yang masih hidup di dasar hati. Itulah harta terpendam yang tidak terlihat dari luar. Seseorang boleh kehilangan apapun, tapi jangan semangatnya! Semangat itu yang akan mengubah kondisi tak berdaya, pelan-pelan bisa bangkit.

Tetapi semangat saja tidak cukup. Tanpa menyerahkan segala hidupnya kepada Allah, maka semangat itu tidak mempuyai tujuan. Dengan semangat yang menyala-nyala, dan ia serahkan secara total hidupnya hanya kepada Allah, maka itu menjadi energi yang luar biasa yang akan mengubah dirinya yang lunglai tak berdaya menjadi kuat. Tiada yang mampu menyatukan semangat yang menyala-nyala dan penyerahan total dirinya kepada allah selain melalui do’a-do’a. Do’a adalah media yang meleburkan seseorang kepada Kekuatan Yang Tak Terbatas. Doa adalah energi yang akan sampai ke langit tingkat ke-7. Doa adalah bukti ketundukan seorang hamba kepada Tuannya. Doa adalah pengakuan bahwa diri seorang hamba adalah lemah.

Seperti Nabi Zakaria yang sudah uzur, di dalam do’a beliau terkandung semangat dan harapan yang tak tergoyahkan bahwa Kekasihnya akan mengabulkan permohonannya. Tetapi doa juga adalah jiwanya itu sendiri.






Baca selengkapnya ...

Antara Tawakkal dan Usaha





Seberapa batasan-batasan antara tawakkal dan usaha? Seseorang yang mencari rizki Allah dengan membuka usaha tidak menutup kemungkinan akan berhasil ataupun menemui kegagalan di tengah jalan. Apapun bidang usaha yang hendak didirikan haruslah mengikutkan unsur tawakkal dan usaha. Misalnya, seseorang mau menjalankan usaha membuka restoran. Segala persiapan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya menyangkut apapun yang berkaitan dengan hal itu, mulai pemilihan lokasi usaha, bangunan tempat usaha, kekhasan masakannya, pemilihan karyawan-karyawannya, kualitas bahan-bahan masakannya, melakukan kajian bahkan pengintaian terhadap pesaing-pesaingnya yang menggeluti bisnis yang sama dengannya, perencanaan pemasarannya, program-program promosi yang akan diberikan kepada calon konsumen untuk menggencarkan pemasarannya, dan berbagai macam hal lain. Itu semua adalah usaha-usaha yang dilakukan, dan usaha itu membutuhkan pengerahan tenaga dan pikiran semaksimal mungkin. Ada kalanya kurang tidur berhari-hari dengan badan terasa capek luar biasa. Bahwa ia telah memeras pikiran dan tenaga berhari-hari bahkan berbulan-bulan dengan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Dengan dilandasi semangat yang menyala-nyala dengan disertai optimisme ia mendirikan usaha restoran itu.

Akhirnya tiba waktunya restoran miliknya siap dibuka di hari pertama, launching. Ada potong tumpeng dan iringan do’a. Hari itu resmi restoran dibuka. Apakah di dalam perjalanan selanjutnya restoran akan ramai pengunjung seperti yang diharapkannya, maka pada titik inilah diperlukan sikap tawakkal. Dengan tawakkal ia meyakini bahwa Allah akan memberikan rizki kepadanya setelah berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras. Dengan tawakkal ia percaya bahwa Allah akan “memelihara” kelangsungan bisnisnya. Dengan tawakkal ia meyakini bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan kerja keras itu.

Jika ia berjaya dengan usahanya itu ia mendapat keuntungan di dunia dan akhirat karena sikap tawakkalnya.

“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 148).

Jika ia menemui kegagalan, ia masih akan mendapatkan keuntungan di akhirat karena memasrahkan segalanya kepada Allah. Bahwa segala rizki berada di tangan Allah. Karena itu kegagalan itu bukan menjadi akhir segalanya. Tampak bahwa Allah belum menghendaki turunnya rizki melalui membuka usaha restoran, sehingga optimisme itu tetap hidup betapapun kecilnya.

Tawakkal tanpa disertai usaha-usaha yang semaksimal mungkin dapat menghambat bahkan membatalkan kesuksesan yang seharusnya didapat. Tetapi usaha dan kerja keras yang dilakukan tanpa disertai tawakkal kepada Allah bisa mengakibatkan “berlepas-tangannya” Allah meskipun mengalami keberhasilan. Lebih-lebih jika mengalami kegagalan. Penting sekali mengingat bahwa mencari rizki adalah aktivitas yang mempunyai nilai ibadah karena hal itu adalah perintah Allah. Sikap tawakkal kepada Allah merupakan pengakuan bahwa Allah-lah yang memberi kekuatan dan sekaligus membimbingnya kepada keberhasilan yang diidam-idamkannya.






Baca selengkapnya ...

Agar Tidak Tercela dan Tidak Pula Menyesal di dalam Sedekah




Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memberikan sebagian rezki yang didapatnya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Adalah merupakan janji Allah bahwa seseorang yang memberikan shadaqah atau pun pemberian lain, Allah akan membalasnya dengan balasan yang lebih banyak, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 245 sebagai berikut:

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al-Baqarah: 245).

Adapun mengenai nafkah yang dikeluarkan, Allah SWT berfirman:

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah: 215).

Allah SWT hendak mendidik hamba-hamba-Nya yang shaleh agar mempunyai sifat yang murah hati, bermata hati terbuka dengan mengetahui kesusahan orang lain, mempunyai kasih sayang kepada sesama manusia, di mana melalui ayat-ayat di atas agar hamba-hamba-Nya ringan tangan membantu orang lain, dengan tegas Allah SWT memberi petunjuk agar nafkah yang yang dikeluarkan agar diberikan kepada: ibu dan bapak, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.

Meskipun demikian, Allah SWT yang Maha Adil memberikan peringatan kepada hamba-hamba-Nya agar tidak berlebih-lebihan dalam mengeluarkan hartanya sehingga bisa membuatnya menyesal.

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29)

Yang membuat seorang hamba tercela di dalam firman Allah di atas adalah sifat kikir yang dituruti, sebaliknya yang membuat menyesal adalah sifat berlebih-lebihan. Kikir adalah sifat yang sangat tercela karena hal itu merupakan perbuatan syetan. Syetan akan senang dengan orang yang kikir. Sedangkan bagi orang yang sedekah syetan sangat membencinya, dengan beberapa alasan: sebab dengan sedekah itu Allah akan menurunkan keberkahan dalam hartanya, menjadikan ia disenangi di kalangan makhluk-Nya, dengan sedekah itu allah akan menjadikan suatu penghalang antara neraka dan dirinya, dan akan menghindarkannya dari segala bencana dan penyakit.

Jelas sekali dengan aktivitas sedekah itu mempunyai keuntungan di dunia dan akhirat. Yang juga hendak disampaikan oleh firman di atas adalah bahwa kepandaian mengelola keuangan dengan baik juga merupakan hal yang sangat penting. Seseorang yang telah dilebihkan rizkinya oleh Allah, dengan mengeluarkan sedekah juga harus pandai mengelola uangnya agar di suatu saat tidak jatuh dalam kekurangan yang berakibat dirinya tidak berdaya secara ekonomi. Tentu, hal itu tidak dikehendaki. Manajemen kekayaan juga merupakan ilmu tersendiri yang harus dikuasai. Karena itu seseorang harus belajar ilmu mengelola keuangan dari mana saja, dari buku-buku atau belajar dari pengalaman orang lain, baik cara-cara yang sederhana atau yang lebih luas. Intinya, dengan kepandaian mengelola keuangan seseorang akan dapat melakukan sedekah lebih banyak di kemudian hari, akan menghindarkan dirinya dari kecerobohan, serta menyelamatannya dari kemungkinan kekurangan uang.

Tetapi sedekah tidak harus ketika uang telah terkumpul banyak sekali, bahkan dengan uang yang terbatas sedekah sudah bisa dilakukan, dan pengelolaan keuangan yang baik tetap menjadi kebutuhan di dalam kondisi mempunyai uang banyak ataupun sedikit. Sesungguhnya Allah hendak mendidik hamba-hamba-Nya agar pandai mengelola keuangannya agar tidak datang suatu masa yang bisa membuatnya menyesali keadaan karena kekurangan uang.

Allah hendak mendidik hamba-Nya agar berdiri di tengah-tengah di dalam bermurah hati kepada orang lain. Sebagian orang, mereka sangat kikir dan egois; dan sebagian yang lain, mereka dermawan, bahkan sangat murah hati.

“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” ( QS. Al-Israa’: 30)






Baca selengkapnya ...

Manusia itu Tempat Keluh-Kesah




Dapatlah dibuat perumpamaan. Ketika manusia tidak mempunyai rumah dan hidup dengan menyewa rumah manusia mengangankan bagaimana rasanya mempunyai rumah. Ketika manusia tidak mempunyai pesawat televisi, melihat pesawat televisi tetangga timbul rasa tidak puas dalam hati. Ketika manusia tidak mempunyai mobil melihat kawannya punya mobil ada perasaan iri, dan menyalahkan dirinya sendiri kenapa tidak mampu membeli mobil. Selanjutnya manusia yang sudah mempunyai rumah merasa kurang puas mengapa rumahnya terasa sempit, dan mengangankan mempunyai rumah yang lebih luas seperti yang pernah mereka lihat. Manusia yang sudah mempunyai televisi ketika dibandingkan dengan televisi tetangganya terasa masih kurang besar dan kurang bagus merknya. Manusia yang sudah mempunyai mobil ketika dikendarai di jalan, terasa mobilnya masih kurang mewah dari beberapa mobil yang mereka lihat.

Yang disebutkan di atas adalah beberapa contoh tentang hasrat manusia. Salah-satu ciri manusia adalah mempunyai keinginan yang tidak ada batasnya. Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan keinginan manusia ini. Cerita tentang manusia boleh dibilang adalah cerita tentang hal-hal yang bersifat keduniawian yang tiada batas padahal hal itu merupakan pangkal dari segala keluh-kesah manusia. Dalam QS. Al-Ma’aarij: 19 diterangkan tentang sifat manusia ini.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir.” (QS. Al-Ma’aarij: 19).

“Sesungguhnya manusia mempunyai sifat goyah. Jika mendapatkan kemalangan ia pun berkeluh-kesah tetapi jika mendapatkan kebaikan ia berusaha agar kebaikan itu tidak sampai kepada orang lain.” (70:19-21).

“Jika manusia penuh dengan sifat kikir (mementingkan diri sendiri).” (4:128).

Selama nafas masih ada dalam dirinya, selama itu pula manusia akan merasakan “beban“ yang disandangnya, yang menimbulkan keluh-kesah. Bagaimana mungkin manusia dapat terbebas sepenuhnya dari beban hidup di dunia sementara ia masih selalu membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya yang semuanya itu harus dicari di dunia fana ini. Dan ketika apa-apa yang diperjuangkan telah didapatkannya maka manusia akan bersikap kikir atau kebaikan itu tidak sampai kepada orang lain. Tetapi juga, manusia akan melupakan semua yang didapat itu adalah pemberian Allah. Di sini manusia bisa terjebak ke dalam sikap yang sombong (merasa apa yang didapatnya atas usahanya sendiri). Tetapi sebaliknya manusia bisa berputus asa ketika yang diusahakannya gagal. Al-Qur’an telah menyingggung hal ini:

“Jika Kami memberikan rahmat Kami kepada Manusia, kemudian menariknya kembali – saksikanlah betapa ia berputus asa dan mengingkari (bahwa Allah telah melimpahkan rahmatnya). Tetapi jika setelah menderita kesusahan itu ia memperoleh rahmat dari Kami niscaya ia akan mengatakan bahwa semua kesulitan nya sudah tiada lagi (dan ia telah menjadi bersih). Sesungguhnya manusia terlampau gampang menjadi sombong – tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang yang sabar serta shaleh. (11:9-11).

“Manusia tidak pernah jemu mengharapkan kesejahteraan. Tetapi jika dilanda kesusahan ia akan berputus asa. Jika setelah menderita kesusahan itu Kami limpahkan rahmat Kami kepadanya niscaya ia akan berkata: ‘Memang inilah hakku....
“Dan jika Kami melimpahkan rahmat Kami kepada manusia niscaya ia akan lupa dan berpaling, tetapi jika kesusahan menimpa dirinya niscaya ia akan memohonkan pertolongan.” (41:49-51; 17: 83; 10:12).

Dan orang yang akan menang adalah orang yang selamat dari sifat mereka yang mementingkan diri sendiri.

Yang akan memperoleh kemenangan adalah orang-orang yang selamat dari sifat mereka yang mementingkan diri sediri.” (59:9; 64:16).

“Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat terburu nafsu.” (21:37).

Dari ayat di atas dapat dikenali dua sifat manusia yang saling berlawanan, yaitu bahwa ia bisa berlaku sombong pada satu sisi dan berputus asa pada sisi yang lain.
Karena sifat terburu nafsu inilah manusia menjadi sombong atau putus asa. Menurut Fazlur Rahman, tidak ada makhluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus asa sedemikian gampangnya seperti manusia. Al-Qur’an berulangkali menandaskan bahwa setelah memperoleh rahmat, manusia segera “melupakan” Allah; jika sebab-sebab alamlah membuat manusia merasa puas dan berkecukupan (untuk dapat berdiri sendiri) maka ia tidak “melihat” peranan Allah di dalam sebab-sebab tersebut; tetapi jika mendapat kesusahan ia menjadi putus asa atau berpaling kepada Allah – namun hanya di saat-saat kesusahan itu. Ia hanya mengingat Allah di saat-saat kesusahan; atau mungkin pula di saat-saat itu ia tidak “mengingat” dan memohonkan pertolongan Allah, tetapi terbenam di dalam keputusasaannya. Al-Qur’an menyinggung hal ini (11: 9-11).

Dan Fazlur Rahman mengatakan bahwa baik manusia itu sombong atau berputus asa, merasa besar atau kecil, akibatnya adalah penyimpangan dan akhirnya adalah kehancuran kepribadian yang bermoral.

Oleh karena itu Al-Qur’an juga melarang keras keputusasaan yang dinyatakannya sebagai sebuah tanda dari “orang-orang kafir” atau orang-orang yang menyangkal kebenaran.

“Janganlah berputus asa dengan rahmat Allah karena tidak ada orang yang berbuat demikian kecuali orang-orang yang kafir.” (12:87; 29: 33; 15:56, 39:53). Baik kesombongan maupun keputusasaan adalah perbuatan kufur (tidak beriman).






Baca selengkapnya ...

Apa yang Baik dalam Pandangan Manusia Belum Tentu Baik dalam Pandangan Allah dan Sebaliknya




Manusia akan memberikan apresiasi yang baik kepada harta, jabatan, kecantikan, popularitas. Manusia juga akan memberikan penghargaan kepada usaha yang maju. Sebaliknya manusia tidak tertarik dengan kondisi kesengsaraan, kemalangan, kejatuhan.

Dunia mengelu-elukan kemewahan.

Jika sekiranya manusia disuruh memilih antara menjadi orang kaya dan miskin, kebanyakan manusia memilih kaya. Jika manusia diminta memilih antara usahanya maju atau bangkrut tentu manusia memilih usanyanya maju. Jika manusia diminta memilih untuk bekerja atau diputus hubungan kerja (PHK) manusia tentu akan memilih terus bekerja. Jika manusia diminta memilih mobil atau sepeda motor, maka manusia akan memilih mobil.

Singkat kata, manusia akan cenderung memilih kemudahan, kelapangan, kecukupan. Sebaliknya, manusia akan berusaha sekuat tenaga menghindari kesempitan, sesulitan, kekurangan.

Tetapi kenyataannya, hidup manusia itu tidak selamanya berjalan lurus. Ada sebagian orang ditakdirkan Allah menghadapi berbagai cobaan. Cobaan yang dirasakan itu memaksa seseorang berubah dari kondisi kelapangan kepada kesempitan, kemudahan kepada kesulitan, kecukupan kepada kekurangan. Memang, dunia hakikatnya adalah tempat cobaan.

Allah SWT telah memperingatkan dalam Al-Qur'an, bahwa:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216).

Yang perlu diingat adalah, jika Allah menakdirkan kesempitan, kesulitan, kekurangan bukan berarti kemudian Allah pasti murka kepada hamba-Nya itu. Demikian juga sebaliknya, jika Allah memberi kemudahan, kelapangan, kecukupan bukan berarti Allah pasti sayang kepada hamba-Nya itu. Allah-lah yang lebih tahu tentang hamba-hamba-Nya. Pada kondisi yang pertama, boleh jadi Allah tidak menginginkan hamba-Nya terjatuh kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah atau maksiat disengaja ataupun tidak disengaja, karena itu Allah memberikan kesempitan, kesulitan, kekurangan. Kondisi ini adalah bentuk sayang Allah kepada hamba-Nya. Pada kondisi yang kedua, boleh jadi Allah juga sayang kepada hamba-Nya, tetapi boleh jadi juga Allah tidak sayang bahkan benci meskpiun diberi kelapangan, kemudahan, kecukupan.

Dalam ayat di atas, Allah membuat perumpamaan dengan perang. Perang adalah suatu kondisi yang sulit. Tetapi perang bisa mengantarkan seorang hamba-Nya ke syurga.

Dengan menjiwai ini, diharapkan seseorang hamba senantiasa sadar akan kehendak Allah yang mengatasi kehendak manusia. Sehingga tidak berlebih-lebihan atau bersikap ekstrim di dalam memandang dua kutub keadaan di atas. Seorang hamba, dengan menjiwai ini, juga bisa senantiasa waspada. Terlalu senang kepada sesuatu bisa menjadi ketidakbaikan di akhirnya, terlalu benci kepada sesuatu ternyata menjadi kebaikan di akhirnya. Umar bin Khattab RA pernah berkata bahwa hampir tidak menjadi soal baginya apakah dia berada dalam kesusahan atau kelapangan, sebab ia tak tahu letak kebaikan apakah di dalam kesusahan atau kelapangan.






Baca selengkapnya ...

Ujian Allah sebagai Ungkapan Cinta Allah kepada Hamba


Salah-satu cara Allah menunjukkan cintanya kepada hamba-Nya yaitu dengan cara memberikan ujian-ujian kepada hamba-Nya tersebut; ada kalanya ujian itu berupa kekurangan dalam harta, kerugian dalam berbisnis, meninggalnya anak yang sangat disayanginya, dan lain-lain sebab yang membuat hamba tersebut bersedih atau dalam suasana berduka-cita. Sesungguhnya, jika Allah memberikan ujian-ujian tersebut Allah berkehendak memelihara hamba tersebut agar tidak terjatuh kepada cinta berlebih-lebihan kepada apa yang disenanginya di dunia dan lebih mencintai Allah di atas segala apa yang dimiliki.

Seandainya pun dalam berbisnis seseorang tidak beruntung atau bahkan mengalami kerugian di suatu masa, boleh jadi Allah sedang mengujinya dengan maksud mencintai hamba tersebut, dan di masa berikutnya Allah mencurahkan karunianya, rizki yang banyak sebagai balasan Allah kepada hamba tersebut atas kesabarannya pada ujian sebelumnya. Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-Ra’d: 26 sebagai berikut:

“Allah meluaskan rzki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).”(QS. Ar-Ra’d: 26).






Baca selengkapnya ...
Wednesday, November 24, 2010

Tekad Besar untuk Berhijrah karena Dimotivasi Mendapatkan Balasan Syurga





“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’: 100).

Ketika seseorang memutuskan untuk berhijrah, maka yang pertama sekali yang wajib ditata adalah niatnya. Niat yang bersemayam di dalam hati dan pikiran manusia bisa bermacam-macam, di antaranya, mengharapkan harta kekayaan, jalannya rizki yang lebih banyak, dan lain-lain. Beberapa niat yang bersifat duniawi adalah wajar, tetapi hal itu tidaklah cukup. Kekuatan badan (tenaga) maupun mental dalam berhijrah di tempat yang baru, yang mungkin masih asing, bisa sangat besar hanya kalau dilandasi dengan niat untuk berhijrah menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan niat tersebut seseorang bisa berharap pertolongan Allah dengan keyakinan yang kuat. Dengan kata lain, berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya merupakan tujuannya, dan rizki yang akan dibukakan Allah akan mengikutinya.

Hijrah seperti itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yaitu berhijrah kepada Allah. Sesungguhnya, di dalam hijrah terkandung makna usaha dan tawakkal. Dimensi usahanya terletak pada tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk memulai sesuatu yang baru. Di dalamnya terbuka berbagai macam kemungkinan yang di antara kemungkinan-kemungkinan itu belum bisa diperkirakan hasilnya. Dan dengan tawakkal kepada Allah, maka seseorang mempunyai keyakinan yang teguh bahwa Allah pasti akan menolongnya. Jika sekiranya kematian menjemput mereka sebelum sampai kepada tujuannya, maka Allah telah menjanjikan pahala yang tetap. Dan di ayat yang lain Allah juga akan memberikan kepada mereka rizki yang baik (syurga), seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Hajj: 58).

“Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka dibunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezki yang baik (syurga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezki.” (QS. Al-Hajj: 58).

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS. Al-Munaafiquun: 10).

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munaafiquun: 11)






Baca selengkapnya ...
Tuesday, November 23, 2010

Kekuatan dalam Ketundukan Kepada Allah





Kiranya tak perlu dipersoalkan lagi bahwa Dia merupakan kekuatan yang Maha Tinggi dan Maha Besar. Maka barangsiapa tunduk kepada Allah, seseorang itu akan memperoleh kekuatan yang besar hasil dari ketundukan kepada Allah. Dengan demikian, di dalam berusaha, seseorang itu akan mempunyai daya tahan fisik maupun pikiran, karena mereka yakin kepada Allah dan semua janji-janji-Nya. Ketundukan dan kepatuhan tanpa syarat, semacam ini, seperti dikisahkan-Nya di dalam al-Qur’an mengenai Nabi Ibrahim. Ketundukan Nabi Ibrahim adalah ketundukan total kepada Allah. Beliau mengalami banyak ujian dari Allah, tetapi dengan banyaknya ujian dari Allah tersebut makin memperkuat jiwa beliau. Ujian yang luar bisa ketika Allah memerintahkan kepada beliau untuk menyembelih putranya, Ismail. Ujian-ujian tersebut melelehkan keakuan dan ataupun kediriannya, dan setelah itu lahirlah jiwanya lain yang kokoh, kuat dan disifati oleh sifat-sifat Allah.

“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” (QS. Al-Baqarah: 131).

Ketundukan kepada Allah adalah mutlak baik dalam situasi suka atau pun duka, senang atau susah, bergembira atau sedih. Karena seseorang tidak tahu apakah di balik suka atau justru di balik duka itulah terdapat kebaikan dan kasih-sayang Allah. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT membuat perumpamaan mengenai hal ini dengan perintah perang.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216).

Karena seseorang itu tidak tahu dalam situasi apa – situasi menyenangkan atau menyusahkan – suatu yang baik itu maka sebagai “jalan tengahnya” mereka lebih baik dan seharusnya tunduk-patuh kepada Allah dalam sepenuh jiwa di dalam suasana suka, (lebih-lebih dalam suasana) duka dan tidak menyenangkan. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui hakekat suka dan duka kejadian atau peristiwa yang menimpa manusia.

Manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Manusia hanya merasa bahwa dirinya kuat, kenyataannya adalah lemah dan tiada daya dan kekuatan itu selain dari yang diberikan Allah kepadanya. Seberapa pun kuat dan gagah perkasanya manusia pada akhirnya pasti akan binasa. Betapa banyak orang dulunya berkuasa pada saatnya akan binasa. Ketuaan yang menjadikan dirinya lemah dan tak berdaya pada saatnya akan terjadi pada dirinya.

Dengan ketundukan secara total kepada Allah berarti ia melenyapkan dirinya ke dalam Kekuatan Yang Tidak Terbatas. Jika ia demikian maka ia akan mendapatkan kekuatan tidak hanya jasmani tetapi kekuatan jiwa. Selain akan mendapatkan energi positif dari Kekuatan Yang Tidak Terbatas itu ia akan mendapatkan pertolongan dari Allah, dan pertolongan Allah itulah yang menjadikan dirinya kuat dalam menghadapi setiap gelombang kehidupan. Jadi ketundukan kepada Allah adalah kekuatan ketika ia selaras dengan kehendak Allah dalam setiap apapun aktivitas yang dilakukan. Tidak hanya dalam ibadah-ibadah ritual tetapi juga dalam bekerja mencari nafkah. Bahkan dalam merasakan kerasnya persaingan hidup ia wajib untuk tunduk secara total kepada Allah. Tunduk total kepada Allah berarti ia mengesampingkan selain Allah.

Jika ketundukan kepada Allah itu dipelihara terus, maka akan melahirkan perubahan yang besar dalam hidupnya. Sebelumnya, ia akan selalu meneliti apakah masih ada perbuatannya, pikirannya, ucapannya, bahkan bisikan hatiya yang tidak selaras dengan kehendak Allah. Jika masih ada tindakannya yang tidak selaras dengan kehendak Allah ia harus memperbaikinya. Sesungguhnya ketundukan kepada Allah adalah sebuah jalan yang terbentang untuk sampai pada apa yang dicita-citakan. Apakah seseorang mau kaya, maka wajib banginya untuk tuntuk kepada Allah. Bukankah Allah yang menahan rizki seseorang? Ketundukan secara total kepada Allah yang sangat memungkinkan Allah melepaskan rizki kepada seseorang yang beriman.






Baca selengkapnya ...

Mensyukuri Nikmat Allah





Semua kesuksesan yang dicapai semuanya merupakan pemberian Allah. Dengan kata lain semua nikmat adalah berasal dari Allah. Diberikannya usaha yang lancar, kesehatan, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Apa jua yang ada pada diri kita semuanya dari Allah. Bersyukur kepada Allah adalah wajib hukumnya. Bahkan dalam kondisi apapun. Allah masih memberi hidup kepada seseorang merupakan nikmat yang diberikan oleh Allah.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS. Al-Baqarah: 152).

QS. Ibrahim: 34:

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”

Dengan mengingat-ingat segala nikmat yang diberikan kepada kita, kita akan merasa ternyata kita tidak mempunyai apa-apa di dunia ini. Semua yang kita miliki pada saatnya akan diambil kembali oleh Allah. Sesorang pun hanya menumpang hidup di bumi Allah.

Jika seseorang kaya, penjiwaan rasa bersyukur itu akan menerbitkan kerendahan hati yang mendalam. Tak mungkin seseorang kaya, mempunyai uang dan harta benda yang dilebihkan dibandingkan dengan orang, jika bukan karena pertolongan dari Allah. Jadi mereka kaya karena “dibantu” oleh Allah. Karena dibantu oleh Allah apakah layak seseorang yang kaya berlaku sombong?

Dan jika seseorang ditakdirkan sebagai orang miskin, wajib pula bersyukur atas semua karunia yang diberikan oleh Allah kepadanya. Jelas sekali, bahwa dengan bersyukur kepada Allah itu akan dapat menghilangkan rasa kecil hati. Apakah tidak mungkin Allah akan mengubah nasibnya di kemudian hari? Dan bukankah Allah telah berjanji bahwa jika hamba bersyukur atas semua nikmat yang telah diberikan kepadanya maka Allah akan menambah nikmat-Nya? Jadi jika seseorang mau diubah nasibnya oleh Allah maka wajib baginya pandai-pandai bersyukur. Setiap langkah yang diiringi rasa syukur kepada Allah akan membuka turunnya nikmat Allah yang lebih banyak. Inilah keindahan dari rasa syukur kepada Allah, dan bukan kepada yang selain Allah.

Bersyukur adalah kunci ajaib yang mengubah kegelisahan kepada ketenangan, perasaan tertekan kepada kelapangan dada. Tidak ada yang bisa mengerem hawa nafsu manusia yang tiada mengenal batas selain dengan bersyukur. Sebaliknya juga tidak ada yang bisa menghilangkan rasa mengeluh dalam hati selain dengan bersyukur. Inilah rahasia yang akan membuat seseorang mulia di hadapan manusia dan di hadapan Allah.






Baca selengkapnya ...

Bersabar dalam Menunggu Ketetapan Allah





Jika Allah tidak menurunkan rizki-Nya bukan berarti Allah tidak akan menurunkan rizki-Nya, ketika seseorang sudah berusaha dengan sungguh-sungguh secara profesional. Hal itu disebabkan, bahwa boleh jadi belum saatnya Allah menurunkan rizki-Nya atau masih menunggu waktu. Dengan kata lain, jika sudah waktunya maka rizki tersebut akan diberikan Allah kepada mereka. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengingat firman Allah yang memerintahkan untuk selalu menunggu ketetapan dari Allah SWT, sebagai berikut:

“Maka bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu…(QS. 52:48).

Di dalam kehidupan ini manusia mempunyai rencana, dan untuk mewujudkannya mereka melakukan berbagai macam usaha yang diperkirakan akan memperoleh hasil dalam waktu dekat sesuai dengan rencana tersebut. Tetapi terkadang hasil yang diharapkan tak kunjung datang. Dalam hal inilah Allah mengingatkan untuk bersabar menunggu realisasi hasilnya, sesuai dengan ketetapan-Nya dalam waktu yang dijanjikan. Jika seseorang sudah istiqamah dan tawakkal kepada Allah dalam mengusahakan sesuatu maka suatu saat Allah akan menurunkan rahmat dan rizki-Nya sesuai yang diminta. Tentu saja usaha-usaha tersebut harus dilakukan secara profesional, dengan memaksimalkan semua potensi yang ada pada diri serta memiliki keyakinan dalam setiap do’anya bahwa Dia akan mengabulkan apa yang dimohonkan, tinggal menunggu waktu yang tepat.

Allah SWT yang Maha Mulia berfirman dalam QS. Ar-Ra’d: 22 yaitu:

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keredhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).”

Oleh karena itu, perlu juga meneladani sikap Nabi Ibrahim AS dalam menunggu ketetapan dari Allah bagi sesuatu permohonan yang dimintanya yang kemudian dikabulkan, seperti yang tersebutkan dalam QS. Ibrahim: 39 yaitu:

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do’a.”






Baca selengkapnya ...
Saturday, November 20, 2010

Sistem Sosial Berhubungan dengan Perubahan Nasib Seseorang



Yang perlu dipahami juga adalah sistem sosial kita. Mentalitas keberhasilan tersusun dari semangat positif tiap-tiap orang. Sistem sosial di mana kita tinggal juga mempunyai pengaruh kepada seseorang untuk berusaha menjemput rizki. Sistem sosial yang benar akan mengubah seseorang menjadi benar. Sistem sosial yang benar akan mempermudah seseorang berkembang dan berusaha, sebaliknya sistem sosial yang tidak benar akan mempersulit seseorang di dalam berusaha dan mengembangkan potensi-potensi “daya hidup” di dalam dirinya. Alangkah indahnya perpaduan antara pribadi-pribadi yang benar yang berhasil dalam hidupnya dan sistem sosial yang benar, sebab keduanya saling memperkuat. Bayangkan jika sistem sosial kemasyarakatan kita koruptif dan “menghalalkan” perbuatan-perbuatan korupsi tentu hal itu sangat menghambat bahkan merusak pribadi-pribadi yang benar. Sebaliknya jika sistem sosial itu benar, maka pribadi-pribadi yang jelek sekalipun akan bisa berkembang menjadi baik. Sedangkan pada mereka yang baik akan berkembang semakin baik.

Sistem sosial yang membiarkan gap (kesenjangan) antara kaya dan miskin seperti yang dapat dilihat kenyataannya di masyarakat, juga akan mempersulit atau menghambat seseorang. Uang akan beredar kebanyakan pada orang-orang kaya dan kurang menetes ke bawah. Seseorang yang baru berusaha sekuat tenaga meristis usaha tentu tidak mudah menembus benteng pada lapisan atas orang-orang kaya yang mempunyai banyak duit. Mengapa kemiskinan di negara ini sepertinya laten, salah-satu sebabnya adalah gap orang miskin dan orang kaya di negara ini sangatlah lebar dan tidak ada suatu cara, atau sistem, atau badan yang berposisi di tengah-tengah yang mendekatkan ataupun mencairkan gap (kesenjangan) yang menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin. Kondisi sistem sosial seperti ini jelas menghambat kemajuan individu-individu. Kesulitan akan dirasakan oleh mereka yang merintis usaha dari bawah. Keberhasilan adalah cita-cita mereka, dan jika gagal mereka hanya mempunyai pilihan mencoba lagi dan mencoba lagi, tetapi bagi mereka yang tidak sekuat golongan pertama yang bermental baja ini akan menyerah dan menyerahkan nasibnya pada “takdir”, di mana tak ada harapan lagi berusaha karena sistem sosial di mana mereka hidup tidak memberi peluang, tidak mendukung usaha-usahanya yang dirintis dengan lurus dan benar.

Ketika sistem sosial itu bersifat individualis, mementingkan diri sendiri karena kemiskinan bangsa maka budaya yang berkembang adalah budaya menerabas, tidak hirau pada nasib orang lain, tidak hirau untuk menciptakan kedamaian bagi sesama, tidak berpikir bahwa tiap-tiap individu mempuyai hak yang sama untuk hidup berhasil. Sistem yang timpang juga akan melahirkan ketidakpuasan sosial, yang akan menciptakan persaingan hidup yang tidak sehat yang tentu akan menghambat kemajuan bangsa. Akhirnya, mereka pelan-pelan berpikir kalau miskin adalah takdir. Sementara sistem sosial di mana mereka hidup telah menyumbang pada kondisi miskin itu.

Padahal Al-Qur’an menyatakan kalau manusia adalah mahluk yang paling mulia, dan diciptakan Allah dengan segala potensi yang besar. Betapa Allah menghargai manusia melebihi mahluk-mahluk-Nya yang lainnya. Otak manusia adalah harta benda yang tak ternilai yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Allah juga memerintahkan manusia untuk berusaha di muka bumi ini. Betapa penting dan kuatnya manusia sehingga dipercaya Allah mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi. Sementara jelas dinyatakan bahwa kefakiran hidup bisa menjerumuskan seseorang kepada kekafiran.

Di dalam sistem yang tidak benar akan menciptakan individu-individu yang jika mereka berhasil dalam hidup, berarti mereka itu telah lolos di dalam mengalami berbagai macam ujian yang bisa menjerumuskannya ke dalam akhlak yang tidak terpuji. Jika ada orang yang tetap lurus dan benar akhlaknya, dan berhasil mencapai puncak kejayaan di tengah sistem yang koruptif, misalnya, berarti ia telah berhasil bertahan menjadi orang yang benar dan lurus, meskipun tidak mudah. Yang hendak dikatakan adalah di tengah sistem sosial yang benar, yang didukung pranata-pranata sosialnya yang terlembaga dengan baik akan melahirkan lebih banyak lagi individu-individu yang benar dan lurus itu dibandingkan dengan sistem yang buruk. Kemajuan bangsa mempunyai korelasi langsung dengan individu-individu yang baik dan lurus, yang pantang menyerah berusaha di muka bumi dan hidup di dalam sistem sosial yang benar pula.

Kemiskinan di negari ini menjadi laten. Ketimpangan hidup terjadi di mana-mana. Yang memang miskin hidup dalam serba kekurangan. Yang kaya merasa tak terusik dan menikmati posisinya di lapisan atas strata sosial. Sampai kapan kemiskinan yang laten ini bisa berubah? Kalau kita kembali kepada Al-Qur’an, semestinya kemudahan hidup itu merupakan hak setiap orang. Orang kaya adalah orang dilebihkan rizkinya oleh Allah, tetapi orang disempitkan rizkinya oleh Allah juga kehendak Allah. Keduanya berasal dari Allah, kaya dan miskin. Allah yang berkuasa mengubah segalanya, membolak-balikkan keadaan semua hambanya, tetapi kenapa gap kaya-miskin tetap bersifat laten? Dari segi keadilan ini tidak sesuai dengan kehendak Allah. Seandainya pun orang miskin menerima kondisi miskinnya, tentu Islam tak mengijinkan orang miskin menderita fisik, batin, mental, spiritualnya sekaligus. Kondisi yang nyaman di dalam sistem sosial akan menciptakan rasa nyaman di dalam mental dan spiritualnya. Kekurangan harta merupakan sesuatu hal yang biasa seperti yang disebutkan Al-Qur’an. Kebahagiaan hidup di dunia juga bukan dengan uang semata-mata.Tetapi jika di belahan sana orang-orang kaya hidup dalam kemewahan, uang yang dihambur-hamburkan untuk memenuhi hawa nafsu manusia yang tiada mengenal batas, tentu akan menciptakan sistem sosial yang tidak nyaman. Bagi orang-orang miskin tidak nyamannya hidupnya selain kekurangan uang juga karena hidup berdampingan dengan orang-orang kaya dalam sistem sosial yang senjang itu.

Sebaliknya bagi saudara-saudara yang hidup kaya. Uang yang melimpah bukan jaminan hidup bahagia di dunia yang hanya mampir minum ini. Jika sistem sosial berlaku dengan benar maka orang-orang kaya akan dimudahkan dalam membantu anggota masyarakat yang hidup dalam kekurangan. Akan tercipta juga kondisi di mana orang-orang yang baru merintis usahanya dari bawah akan lebih mudah menjangkau lapisan orang-orang atas yang lebih banyak duit. Usaha yang dilakukan lebih mudah berkembang. Antara yang miskin dan kaya lebih mudah saling menyapa, ada perasaan saling membutuhkan, ada keinginan untuk saling melindungi. Bahwa semua harta kekayaan di masyarakat akan berkah kalau orang kaya dan miskin saling mengerti dan saling membantu. Allah yang akan menurunkan keberkahan dari langit maupun dari bumi. Allah telah menjanjikan tiada keresahan bagi orang-orang kaya yang dermawan menafkahkan uangnya semata-mata mengharap ridha Allah sebab Allah pasti akan membalasnya dengan pemberian yang banyak. Keberkahan di masyarakat itu akan tercipta jika orang-orang kaya memperhatikan saudara-saudaranya orang yang miskin. Tidak ada ruginya sedikitpun menafkahkan hartanya jika dengan tujuan ikhlas mengharapkan ridha Allah. Kesenjangan yang menyempit dapat menebarkan harapan bagi orang-orang miskin untuk berubah nasibnya di kemudian hari berdasarkan keyakinan pada janji Allah bahwa Allah-lah yang melapangkan rizki pada suatu masa dan menyempitkan jalannya rizki pada masa yang lainnya, demikian itu terjadi secara bergiliran. Keberkahan yang dijanjikan Allah akan diturunkan Allah dari langit dan bumi itu adalah pada sistem sosial yang benar.
Allah SWT telah berfirman dalam QS. Al-Israa’: 16 sebagai berikut:

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Israa’: 16)

Jika Allah bisa menghancurkan suatu negeri yang karena orang-orang kayanya hidup dalam kemewahan tetapi tidak mentaati perintah Allah, sebaliknya Allah akan menurunkan rahmat dan kasih-sayang kepada negeri yang orang-orang kayanya mentaati perintah-perintah Allah. Itulah rahasia Allah. Bahwa jika harta di masyarakat itu beredar dengan baik, dari lapisan atas, menengah dan bawah, dan tidak “tertahan” di atas orang-orang kaya yang jumlah paling sedikit. Susahnya orang miskin bertambah, ketika harta itu tertahan di atas, sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah. Jika itu terjadi terus, maka akan dicabut keberkahan pada harta yang beredar di masyarakat itu. Hidup yang tidak nyaman tidak hanya dirasakan oleh orang-orang miskin, tetapi juga oleh orang-orang kaya. Keberkahan yang dicabut akan mengakibatkan hilangnya kedamaian di masyarakat.

Kembali kepada pesan Allah seperti yang disebutkan di atas adalah sangat penting, agar di negeri tempat kita hidup ini terdapat keberkahan. Tidak ada ruginya orang kaya yang dengan ringan tangan menafkahkan hartanya di jalan Allah, juga tidak perlu disesali sedikitpun ketika Allah menakdirkan seseorang miskin sebab menjalani hidup miskin dengan sabar akan dibalas Allah dengan pahala yang lebih baik.






Baca selengkapnya ...

Masing-masing Orang Menjadi Sasaran Sedekah Satu Sama Lainnya





Dalam kehidupan ini seseorang saling memerlukan satu sama lain. Seperti rangkaian sebuah mesin antara onderdil satu dan lain-lainnya mempunyai saling keterkaitan sehingga mesin tersebut bisa bergerak. Manusia adalah bagian dari manusia yang lainnya yang memungkinkan kehidupan dapat bergerak secara dinamis. Rizki yang diturunkan oleh Allah dan diterima oleh hamba-Nya karena berpindahnya rizki itu dari tangan seseorang kepada seseorang yang lainnya. Semakin banyak seseorang berhubungan dengan orang lain, akan semakin banyak kemungkinannya untuk menerima rizki dari Allah. Apa yang diniatkan seseorang menjadi sedekah bagi orang lain akan bernilai sebagai sedekah. Bahkan seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, seseorang yang menanam sebuah pohon kemudian dari pohon itu muncul buah yang kemudian dimakan oleh burung, maka hal itu adalah sedekah. Seseorang pun bisa sedekah dengan sesuatu yang amat murah, yaitu dengan senyum.

Seorang pekerja adalah menjadi sasaran sedekah majikannya. Seorang majikan adalah menjadi sasaran sedekah pekerjanya. Seseorang yang berstatus sebagai pekerja barangkali perlu menyadari rizki yang diterimanya melalui majikannya. Bahwa mungkin kerjanya “belum maksimal” seperti yang diharapkan oleh majikannya dengan bayaran yang diberikan. Sehingga majikannya memberi sebagian “sedekah” kepada pekerja. Sebaliknya, seseorang yang berstatus sebagai majikan perlu menyadari barangkali bayaran yang diberikan kepada pekerjanya “kurang” dibandingkan dengan tenaga dan jerih-payah yang telah diberikannya. Sehingga pekerja memberi sebagian “sedekah” kepada majikan.

Tidak ada ketentuan yang bersifat tetap. Masalah bayaran, gaji atau upah adalah relatif. Seseorang yang menjadi majikan akan menetapkan sendiri bayaran yang akan diberikan kepada pekerjanya. Sebaliknya kebanyakan pekerja hanya bisa memilih bersedia bekerja dengan bayaran itu atau tidak. Memang terdapat perbedaan kedudukan antara majikan dan pekerja. Majikan kedudukannya di atas, sedangkan pekerja berada di bawah. Sehingga yang sangat menentukan posisi pekerja di mata majikannya adalah loyalitas dan produktivitasnya. Bagi seorang majikan ketika melihat seorang pekerjanya menunjukkan loyalitas dan produktivitas kerja yang tinggi, sangat mungkin akan menambah bayarannya. Ini adalah sesuatu yang diutamakan.

Perlu juga disadari ketika usahanya berkembang, rizki yang diberikan Allah bertambah banyak, seorang majikan diberikan amanah oleh Allah meneruskan rizki itu kepada para pekerjanya. Ada cerita-cerita yang dialami orang yang membuka usaha yang sampai kepada penulis, ketika seseorang mengerjakan segala usahanya sendiri, perjalanan usahanya pelan. Rizki yang diterimanya relatif kurang meningkat, stagnan Tetapi ketika mempekerjakan orang lain usahanya mengalami peningkatan; misalnya order yang diterimanya bertambah, pembeli bertambah banyak, relasi bisnis bertambah banyak, dan lain-lain. Sehingga menjadi suatu yang diutamakan jika seiring dengan perkembangan usahanya yang terus meningkat, seorang majikan juga menambah bayaran kepada pekerjanya. Apalagi jika usahanya sudah stabil. Supaya Allah menurunkan keberkahan di dalam usahanya.

Keberkahan usaha dan hidup seorang majikan akan dapat dirasakan sampai usia tua. Sebenarnya ada dua jalan tentang riwayat hidup majikan; pertama, seseorang yang mempunyai usaha yang berhasil di masa mudanya, tetapi kemudian mengalami kejatuhan di masa tuanya, dan kedua, seseorang yang mempunyai usaha yang berhasil di masa mudanya dan sampai tuanya usahanya tetap berjalan dengan baik dan dapat diteruskan oleh anaknya. Jika seorang majikan menginginkan jalan yang kedua maka bersikap yang murah hati di dalam menetapakan bayaran pekerjanya akan membantunya. Seperti yang disebutkan di atas, seorang majikan itu dapat memberikan sebagian “sedekah” di dalam bayaran pekerja. Allah yang akan mengatur rizkinya selanjutnya. Sebaliknya, pekerja juga dituntut harus jujur. Pekerja yang jujur akan membawa keberkahan usaha, tetapi pekerja yang tidak jujur akan merongrong usaha seorang majikan.






Baca selengkapnya ...

Mendengarkan Perintah Allah Yang Maha Lemah-lembut




Orang yang dilebihkan rizkinya oleh Allah, maka mereka itu mempunyai kewajiban-kewajiban dengan kekayaan yang dimilikinya. Dengan kekayaan yang lebih banyak mereka mempunyai keleluasaan ataupun kelapangan dalam hidup sementara di pihak lain ada sebagian hamba-hamba Allah (yang menurut kehendak Allah) mereka diberikan rizki yang sedikit, atau bahkan kekurangan dalam hidupnya. Di antara mereka ini ada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an. Mereka ini orang yang kekurangan, “orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.” Allah menyukai orang-orang yang menafkahkan sebagian hartanya kepada orang-orang tulus yang mengabdikan hidupnya untuk jihad di jalan Allah, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah: 273, sebagai berikut:

“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 273).

Ketika seseorang yang kaya itu memenuhi perintah Allah seperti disebutkan dalam firman di atas, maka Allah akan menggantinya dengan rizki yang berlipat-ganda. Bahwa orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, adalah menjadi kewajiban bagi orang-orang kaya untuk membantu. Mereka itu terdiri dari orang-orang yang mempunyai kontribusi pada perjuangan menegakkan agama Allah di tengah-tengah masyarakat. Mereka juga terdiri dari orang yang menghidup-hidupkan syiar Islam di tengah-tengah masyarakat. Di antara mereka itu ada yang – atas kehendak Allah – kurang bisa berusaha di dunia. Sementara semua harta yang diinfakkan kepada mereka akan dicatat oleh allah sebagai kebaikan di akhirat dan di dunia akan dibalas dengan pemberian Allah yang berlipat-ganda.

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rizki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Baqarah: 254).






Baca selengkapnya ...